Idealisme Vs Profesionalisme (Telaah seteruan Mahasiswa – Polisi)
by Muhammad Akil Musi on Nov.22, 2009, under
Di negeri ada dua “profesi” yang selalu menarik perhatian, siapa lagi jika bukan mahasiswa – polisi. Seperti dalam cerita Tom And Jerry dua insan yang tak bisa akur. Uniknya, intensitas pertemuannya tentu senantiasa terjadi. Ketika kebijakan yang dianggap tidak populis dan menyengsarakan rakyat seperti (semisal kasus Century), mahasiswa selalu tampil membela hak-hak rakyat tersebut. Dalam waktu yang sama pun polisi sebagai penanggung jawab keamanan dan ketertiban dalam negeri akan “mengamankan” dan mengawal gerakan tersebut. Hal inilah yang hampir dipastikan menimbulkan gesekan dan lebih banyak berujung bentrok.
Sejak lepas dari ABRI (berpisahnya TNI dan Polri), Polisi mendapatkan amanah besar dalam konteks pertahanan dan keamanan bangsa. UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian telah memberi amanah pada institusi kepolisian sebagai lembaga negara yang bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban dalam negeri. Setiap aksi, tindakan gerakan yang dianggap mengganggu stabiltas keamanan dan ketertiban, akan berhadapan dengan lembaga kepolisian. Analisanya, atas fungsi dan tugas seperti ini, maka lembaga kepolisian memiliki potensi berhadapan dengan siapa saja, bukan hanya mahasiswa. Bentrokan dengan buruh, aktivis LSM, Pers, atau masyarakat sekalipun. Artinya polisi memiliki potensi besar untuk berbenturan dan bahkan bentrok dengan “masyarakat” siapa saja, karena polisi lah yang ditugaskan mengamankan setiap aksi masyarakat dari berbagai elemen dan kalangan.
Meski demikian, terlepas dari analisa tersebut yang menjadi persoalan adalah frekuensi benturan terutama dalam aksi unjuk rasa terutama ketika mengamankan setiap gerakan mahasiswa.Ironi, sebab mahasiswa dan polisi sebenarnya memiliki fungsi dan tujuan yang sama, yaitu sama-sama “bekerja” untuk masyarakat. Tujuan inilah yang tidak pernah match dan selalu berhadap-hadapan. Mahasiswa dengan atas nama rakyat dan kebenaran, maka polisi dengan dalih demi keamanan dan ketertiban, tapi faktanya selalu diakhiri dengan jatuhnya korban, atau malah tidak aman.Mahasiswa dan Idealisme
Dua yang tak terpisahkan, dengan sentuhan nilai-nilai intelektual proses ilmiah, mahasiswa demi sebuah fungsionalisasi dan idealism pun selalu dan tak pernah surut untuk merepresentasikan diri untuk membela hak-hak masyarakat. Dua kepentingan yang semestinya bias berjalan seiring jika masing-masing pihak menjunjung tinggi kode etik yang menjadi landasan dalam bertindak. “Profesi” mahasiswa sebagai sosok intelektual dan ilmiah sudah sepatutnya tidak melakukan hal-hal yang selama ini terkesan ambivalence (mendua). Kutub yang satu demi hak masyarakat tetapi pada kutub yang lain “mengebiri” hak-hak yang diperjuangkan. Pendekatan aksi dalam berbagai kasus tidak sedikit yang mengarah pada tindakan anarkis dan pemaksaan kehendak. Selama ini memang tidak sedikit yang mengeluhkan model penyampaian aspirasi yang ditandai dengan aksi menutup sebagian jika tidak seluruh, pemblokiran, membakar ban, bahkan seringkali melakukan penyanderaan.Uniknya, tindakan ini ini pun juga atas nama undang-undang yakni kebebasan menyampaikan pendapat. Niat suci mahasiwa diakui sering kali dinodai dengan ekses gerakan yang sama sekali jauh dari nuansa akademik. Psikologi massa yang kerap membuat mahasiswa percaya diri jika tidak ingin dikatakan lupa diri yang sesungguhnya mencederai setiap aksinya sendiri. Akusentrisme telah menjauhkan semangat dan nilai idealism dari menjadi sebuah pergerakan yang etis, estetis dan dialektis. Semangat kebebasan mimbar dimanifetasi sedemikian hebatnya tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Maka tidak heran jika seringkali ada ungkapan mahasiswa sebenarnya berbuat untuk siapa. Parahnya ketika aparat kepolisian sebagai institusi yang selalu tampil mengamankan aksi mahasiswa pasca bepisahnnya Polri dari ABRI/TNI, mahasiswa melakukan selebrasi yang kontra produktif dengan tugas kepolisian. Tidak jarang caci, maki, ejekan,umpat dan sasaran dialihkan ke aparat yang sebenarnya awalnya bukan untuk itu. Issu awal yang diusung mungkin masih substansi, namun karena merasa terusik dengan kedatangan polisi dengan dalih “mengawal” lalu issu dialihkan ke polisi. Masih mending jika singgungannya mengarah kepada institusi mungkin aparat masih bia menahan diri, tetapi jika sudah mengarah ke “pribadi-pribadi” aparat, maka hal inilah yang kerap memancing tindakan anarkis polisi. Hal ini pula yang menjadi amatan sekaligus pengalaman penulis selaku mantan aktivis mahasiswa.
Profesionalisme polisi
Bagaimana dengan polisi?. Dipihak aparat kepolisian pun demikian adanya. Polisi dalam fungsinya pun diharapkan menampilkan sikap yang professional dan sejalan dengan ketentuan dimana polisi bertugas melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan, menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan yang terpenting adalah membina kesadaran hukum masyarakat. Namun beberapa analisis menunjukkan bahwa selama ini memang peristiwa bentrokan dan penyerbuan polisi ke kampus seperti terjadi di UNM kerap menjadi dipertontonkan.Profesional polisi berdiri secara normative dan obyektif dalam mengamankan setiap aksi. Dalam berbagai kesempatan disetiap diskusi yang digelar bersama dengan intitusi kepolisian penulis manyampaikan bahwa polisi adalah mitra dan polisi pun memang telah memproklamirkan diri sebagai mitra masyarakat. Kemitraan ini hanya bias terwujud dalam keterfahaman pelaksanaan profesi. Mahasiswa tentu bukanlah tandingan polisi,maka persepsi mahasiswa sebagai “musuh” tidak boleh hadir dalam benak mahasiswa. Memang, kemitraan selama ini ternoda mungkin oleh ulah mahasiswa kalau tidak aparat, tetapi itu pun kasus perkasus dan tidak bisa digeneralisasi sedemikian rupa bahwa setiap akasi mahasiswa harus diamankan dengan cara apapun. Posisi polisi sebagai “di atas angin” kadangkala melupakan prinsip profesionalisme aparat. Hal yang paling terpenting sebenarnya adalah adanya kesalahan mendasar dalam doktrin Kepolisian RI, terutama terkait keterlibatannya dalam pengamanan kebijakan pemerintah. Salah satu hal yang harus diubah adalah jargon dan doktrin Satya Haprabu, setia pada negara dan pimpinan, sebagai salah satu dari empat doktrin kepolisian RI (Catur Prasetia). Doktrin ini cenderung mengarahkan Polri lebih mengabdi ke figur penguasa atau pemerintah dan bukan ke hukum dan aturan seperti seharusnya. Disamping yang harus menjadi perhatian utama adalah ketiadaan aturan atau kebijakan untuk saling mengkoordinasi antara aparat berwenang, terutama terkait penanganan masalah pengamanan unjuk rasa masyarakat. Sebab diakui memang juga polisi juga seakan menjadi pujaan dan tempat cacian sebab karena beban yang diberikan kepada institusi ini demi sebuah ketertiban masyarakat. Tanggung jawab ini seakan milik polisi saja sehingga jika terjadi bentrokan maka polisi menuai kecaman dan melupakan prestasi polisi pun yang diakui tidak sedikit dalam mengungkap kasus-kasus yang lain. Tugas polisi bukan saja mengamankan unjuk rasa . Dalam posisi seperti ini beban mental institusi kepolisian semakin mengalami degradasi. Keindahan yang tiada kira jika mahasiswa dan polisi sinergi dan mengakhiri kemelut yang selama ini dipertontonkan. Jakarta, 07 Maret 2010.
Sample Text
Mengenai Saya
- Muhammad Akil Musi
- Dilahirkan di Desa Sumpang MinangaE Kec. Sibulue Bone, 24 April 1975. Pendidikan: SDN 214 Kading/Barebbo, SMPN 2 Watampone, SMU Bajoe Bone, S1 Otomotif FT IKIP UP/UNM dan S2 PAUD UNM. Saat ini sementara menempuh studi Program Doktor di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pernah merasakan "duka" bekerja di Asuransi Jiwasraya Makassar, Dewan Redaksi salah satu media cetak di Makassar (SKM Aktualita), staf khusus Gubernur Sulsel (Sekretaris Pemantau Sekolah Unggulan Sulsel) sebelum menjadi Dosen UNM PGTK FIP UNM merangkap Humas UNM dan Pemimpin Redaksi "Tudang Sipulung" sebuah Majalah terbitan Univesitas Negeri Makassar. Tahun 2010 dipercaya sebagai Tim Teknis (Konsultan)Direktorat Pendidikan Kesetaraan Subdit Pendidikan Menengah Dirjen PNFI Kementerian Pendidikan Nasional. Dalam organisasi, pernah aktif diberbagai ormas dan LSM diantaranya BM PAN Sulsel, Bakumham Golkar Sulsel dan MKGR. Tahun 2004 mempersunting Sahria, S.Pd dan saat ini dikarunia putera (Asyam) dan puteri (Nina). Beralamat di BTN Tabaria Baru Blok R/3 Makassar Telepon 0811447938.
About Me
Dilahirkan di Desa Sumpang MinangaE Kec. Sibulue Bone, 24 April 1975. Pendidikan: SDN 214 Kading/Barebbo, SMPN 2 Watampone, SMU Bajoe Bone, S1 Otomotif FT IKIP UP/UNM dan S2 PAUD UNM. Saat ini sementara menempuh studi Program Doktor di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pernah merasakan "duka" bekerja di Asuransi Jiwasraya Makassar, Dewan Redaksi salah satu media cetak di Makassar (SKM Aktualita), staf khusus Gubernur Sulsel (Sekretaris Pemantau Sekolah Unggulan Sulsel) sebelum menjadi Dosen UNM PGTK FIP UNM merangkap Humas UNM dan Pemimpin Redaksi "Tudang Sipulung" sebuah Majalah terbitan Univesitas Negeri Makassar. Tahun 2010 dipercaya sebagai Tim Teknis (Konsultan)Direktorat Pendidikan Kesetaraan Subdit Pendidikan Menengah Dirjen PNFI Kementerian Pendidikan Nasional. Dalam organisasi, pernah aktif diberbagai ormas dan LSM diantaranya BM PAN Sulsel, Bakumham Golkar Sulsel dan MKGR. Tahun 2004 mempersunting Sahria, S.Pd dan saat ini dikarunia putera (Asyam) dan puteri (Nina). Beralamat di BTN Tabaria Baru Blok R/3 Makassar Telepon 0811447938.
0 komentar