Idealisme Vs Profesionalisme (Telaah seteruan Mahasiswa – Polisi)
by Muhammad Akil Musi on Nov.22, 2009, under
Di negeri ada dua “profesi” yang selalu menarik perhatian, siapa lagi jika bukan mahasiswa – polisi. Seperti dalam cerita Tom And Jerry dua insan yang tak bisa akur. Uniknya, intensitas pertemuannya tentu senantiasa terjadi. Ketika kebijakan yang dianggap tidak populis dan menyengsarakan rakyat seperti (semisal kasus Century), mahasiswa selalu tampil membela hak-hak rakyat tersebut. Dalam waktu yang sama pun polisi sebagai penanggung jawab keamanan dan ketertiban dalam negeri akan “mengamankan” dan mengawal gerakan tersebut. Hal inilah yang hampir dipastikan menimbulkan gesekan dan lebih banyak berujung bentrok.
Sejak lepas dari ABRI (berpisahnya TNI dan Polri), Polisi mendapatkan amanah besar dalam konteks pertahanan dan keamanan bangsa. UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian telah memberi amanah pada institusi kepolisian sebagai lembaga negara yang bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban dalam negeri. Setiap aksi, tindakan gerakan yang dianggap mengganggu stabiltas keamanan dan ketertiban, akan berhadapan dengan lembaga kepolisian. Analisanya, atas fungsi dan tugas seperti ini, maka lembaga kepolisian memiliki potensi berhadapan dengan siapa saja, bukan hanya mahasiswa. Bentrokan dengan buruh, aktivis LSM, Pers, atau masyarakat sekalipun. Artinya polisi memiliki potensi besar untuk berbenturan dan bahkan bentrok dengan “masyarakat” siapa saja, karena polisi lah yang ditugaskan mengamankan setiap aksi masyarakat dari berbagai elemen dan kalangan.
Meski demikian, terlepas dari analisa tersebut yang menjadi persoalan adalah frekuensi benturan terutama dalam aksi unjuk rasa terutama ketika mengamankan setiap gerakan mahasiswa.Ironi, sebab mahasiswa dan polisi sebenarnya memiliki fungsi dan tujuan yang sama, yaitu sama-sama “bekerja” untuk masyarakat. Tujuan inilah yang tidak pernah match dan selalu berhadap-hadapan. Mahasiswa dengan atas nama rakyat dan kebenaran, maka polisi dengan dalih demi keamanan dan ketertiban, tapi faktanya selalu diakhiri dengan jatuhnya korban, atau malah tidak aman.Mahasiswa dan Idealisme
Dua yang tak terpisahkan, dengan sentuhan nilai-nilai intelektual proses ilmiah, mahasiswa demi sebuah fungsionalisasi dan idealism pun selalu dan tak pernah surut untuk merepresentasikan diri untuk membela hak-hak masyarakat. Dua kepentingan yang semestinya bias berjalan seiring jika masing-masing pihak menjunjung tinggi kode etik yang menjadi landasan dalam bertindak. “Profesi” mahasiswa sebagai sosok intelektual dan ilmiah sudah sepatutnya tidak melakukan hal-hal yang selama ini terkesan ambivalence (mendua). Kutub yang satu demi hak masyarakat tetapi pada kutub yang lain “mengebiri” hak-hak yang diperjuangkan. Pendekatan aksi dalam berbagai kasus tidak sedikit yang mengarah pada tindakan anarkis dan pemaksaan kehendak. Selama ini memang tidak sedikit yang mengeluhkan model penyampaian aspirasi yang ditandai dengan aksi menutup sebagian jika tidak seluruh, pemblokiran, membakar ban, bahkan seringkali melakukan penyanderaan.Uniknya, tindakan ini ini pun juga atas nama undang-undang yakni kebebasan menyampaikan pendapat. Niat suci mahasiwa diakui sering kali dinodai dengan ekses gerakan yang sama sekali jauh dari nuansa akademik. Psikologi massa yang kerap membuat mahasiswa percaya diri jika tidak ingin dikatakan lupa diri yang sesungguhnya mencederai setiap aksinya sendiri. Akusentrisme telah menjauhkan semangat dan nilai idealism dari menjadi sebuah pergerakan yang etis, estetis dan dialektis. Semangat kebebasan mimbar dimanifetasi sedemikian hebatnya tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Maka tidak heran jika seringkali ada ungkapan mahasiswa sebenarnya berbuat untuk siapa. Parahnya ketika aparat kepolisian sebagai institusi yang selalu tampil mengamankan aksi mahasiswa pasca bepisahnnya Polri dari ABRI/TNI, mahasiswa melakukan selebrasi yang kontra produktif dengan tugas kepolisian. Tidak jarang caci, maki, ejekan,umpat dan sasaran dialihkan ke aparat yang sebenarnya awalnya bukan untuk itu. Issu awal yang diusung mungkin masih substansi, namun karena merasa terusik dengan kedatangan polisi dengan dalih “mengawal” lalu issu dialihkan ke polisi. Masih mending jika singgungannya mengarah kepada institusi mungkin aparat masih bia menahan diri, tetapi jika sudah mengarah ke “pribadi-pribadi” aparat, maka hal inilah yang kerap memancing tindakan anarkis polisi. Hal ini pula yang menjadi amatan sekaligus pengalaman penulis selaku mantan aktivis mahasiswa.
Profesionalisme polisi
Bagaimana dengan polisi?. Dipihak aparat kepolisian pun demikian adanya. Polisi dalam fungsinya pun diharapkan menampilkan sikap yang professional dan sejalan dengan ketentuan dimana polisi bertugas melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan, menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan yang terpenting adalah membina kesadaran hukum masyarakat. Namun beberapa analisis menunjukkan bahwa selama ini memang peristiwa bentrokan dan penyerbuan polisi ke kampus seperti terjadi di UNM kerap menjadi dipertontonkan.Profesional polisi berdiri secara normative dan obyektif dalam mengamankan setiap aksi. Dalam berbagai kesempatan disetiap diskusi yang digelar bersama dengan intitusi kepolisian penulis manyampaikan bahwa polisi adalah mitra dan polisi pun memang telah memproklamirkan diri sebagai mitra masyarakat. Kemitraan ini hanya bias terwujud dalam keterfahaman pelaksanaan profesi. Mahasiswa tentu bukanlah tandingan polisi,maka persepsi mahasiswa sebagai “musuh” tidak boleh hadir dalam benak mahasiswa. Memang, kemitraan selama ini ternoda mungkin oleh ulah mahasiswa kalau tidak aparat, tetapi itu pun kasus perkasus dan tidak bisa digeneralisasi sedemikian rupa bahwa setiap akasi mahasiswa harus diamankan dengan cara apapun. Posisi polisi sebagai “di atas angin” kadangkala melupakan prinsip profesionalisme aparat. Hal yang paling terpenting sebenarnya adalah adanya kesalahan mendasar dalam doktrin Kepolisian RI, terutama terkait keterlibatannya dalam pengamanan kebijakan pemerintah. Salah satu hal yang harus diubah adalah jargon dan doktrin Satya Haprabu, setia pada negara dan pimpinan, sebagai salah satu dari empat doktrin kepolisian RI (Catur Prasetia). Doktrin ini cenderung mengarahkan Polri lebih mengabdi ke figur penguasa atau pemerintah dan bukan ke hukum dan aturan seperti seharusnya. Disamping yang harus menjadi perhatian utama adalah ketiadaan aturan atau kebijakan untuk saling mengkoordinasi antara aparat berwenang, terutama terkait penanganan masalah pengamanan unjuk rasa masyarakat. Sebab diakui memang juga polisi juga seakan menjadi pujaan dan tempat cacian sebab karena beban yang diberikan kepada institusi ini demi sebuah ketertiban masyarakat. Tanggung jawab ini seakan milik polisi saja sehingga jika terjadi bentrokan maka polisi menuai kecaman dan melupakan prestasi polisi pun yang diakui tidak sedikit dalam mengungkap kasus-kasus yang lain. Tugas polisi bukan saja mengamankan unjuk rasa . Dalam posisi seperti ini beban mental institusi kepolisian semakin mengalami degradasi. Keindahan yang tiada kira jika mahasiswa dan polisi sinergi dan mengakhiri kemelut yang selama ini dipertontonkan. Jakarta, 07 Maret 2010.
Baca selengkapnya...
Membedah Ideologi dan Teologi Terorisme
by Muhammad Akil Musi on Nov.22, 2009, under
Ideologi merupakan sebuah kekuatan ide yang mendasari seseorang berbuat. Dalam perspektif ideologi teroris ini, masalah utama yang berkaitan dengan organisasi ekstrimis beranggapan bahwa terorisme itu bermanfaat. Para ektrimis mencari suatu perubahan radikal di alam status quo yang akan memberikan manfaat baru atau sebagai bentuk mekanisme bertahan terhadap hak istimewa yang dianggap sebagai ancaman. Ketidakpuasan terhadap politik pemerintah juga menjadi alasan pembenaran perilaku terorisme.
Para praktisi teroris seringkali mengklaim bahwa tidak ada pilihan lain selain terorisme meski kadangkala tidak jarang menemui kegagalan dalam aksi teror tersebut. Dalam pandangan teroris sebagaimana ditulis dalam buku ini adalah rakyat tidak mungkin mendukung (diajak kerja sama) apalagi dalam kapasitas sebagai organisasi penentang karena takut terhadap sanksi negatif dari dari sebuah rezim yang berkuasa. Disinilah sebuah keuntungan teroris dimana dalam pandangan ekstrimis memiliki peran yang sangat bermanfaat dibalik kekerasan yang diartikulasi secara cerdas untuk perubahan politik dan agenda penyelamatan kepentingan publik.
Psikologika teroris berasumsi bahwa terorisme adalah tindakan yang bertujuan sebagai pilihan mantap meski dengan kekerasan (pilihan sengaja) yang dipilih dari serangkaian alternatif yang berbeda. Individu memasuki jalur terorisme guna melaksanakan aksi kekerasan dan logika khsususnya yang didasarkan pada asumsi yang tercermin dalam retorika bahwa terorisme adalah justifikasi atau pembenaran terhadap aksi kekerasan. Setelah menimbang keberagaman penyebab sampai teroris menemukan tujuan bersama yang disepakati bersama, retorika menjadi seragam, yakni melawan.
Diantara polarisasi dan kemutlakan terdapat retorika “ kita melawan mereka”. Ini adalah retorika tanpa nuansa, tanpa bayang-bayang kelabu. “mereka” (baca: “musuh”), kemapanan adalah sumber semua kejahatan, benar-benar bertolak belakang dari “kami” para pejuang kebebasan, penuh dengan kemarahan yang bijak. Dan apabila “mereka” merupakan bibit permasalahan kami, dalam logika teroris mereka harus dihancurkan. Ini merupakan hal yang adil dan bermoral yang harus dilakukan. Sekali asumsi dasar diterima, maka penalaran logis menjadi sempurna (Hal. 27 dan 28).
Perkembangan yang paling menarik terkait dengan aksi terorisme adalah pembenaran perilaku dengan berdalih agama. Aktivis teroris menganggap sebagai jalan suci sehingga apapun yang dilakukan dapat dibenarkan dalam pandangan teologis. Mengutip ayat Qur’an (61:10) pada halaman 131: “Hai orang-orang yang beriman, haruskah kuberikan berbagai kenikmatan yang kau kira akan membebaskannmu dari penderitaan panjang?. Percayalah pada Allah dan Rasulnya serta perjuangan di jalan Allah berbekal segenap apa yang telah ada pada diri kalian sendiri. Demikian halnya lebih baik, maka kalian ketahuilah. Dia akan mengampuni segenap dosa-dosa kalian serta mengizinkan kalian untuk memasuki Firdaus yang di bawahnya mengalir sungai-sungai serta kemudian tinggal di dalam Taman Surgawi yang indah, itulah puncak segal kemuliaan, beserta segenap yang kau cintai atas pertolongan Allah kalian akan mencapai kemenangan. Itulah ganjaran yang akan diterima oleh orang-orang yang beriman (Diterjemahkan oleh: A.J Arberry).
Konsepsi antara terorisme dan jihad memang menjadi pembenaran terhadap kekerasan yang dilakukan oleh teroris. Dikatakan bahwa jihad adalah sarana untuk membangkitkan Islam. Jihad dipandang “berjuang untuk Allah”.
Beberapa ayat dalam Al Qur’an yang dirujuk sebagai pembenaran terhadap upaya untuk melegitimasi berbagai aksi diantaranya: “ Bunuhlah orang-orang musyrik itu dimana saja kau jumpai mereka, desak mereka, kacaukan mereka, serang dimanapun mereka berada” (Quran 9:5). Di ayat lain dijelaskan “ diwajibkan atas kamu berperang” ( Quran 2:216) dan “perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka melalui perantaraan tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka serta melagakan hati orang-orang yang beriman” (Quran 9:14).
Seperti diyakini, jihad dikobarkan terhadap masyarakat non Muslim. Kewajiban jihad baru akan hilang hanya jika Islam dipeluk oleh muslim seluruh dunia (Hal.141). Orang-orang murtad dan kafir adalah perwujudan setan. Muslim diwajibkan mengibarkan jihad melawan mereka dan meskipun dalam jihad hak-hak sipil dihormati tetapi melawan orang murtad harus diperlakukan sendiri. Membasmi musuh adalah selimut tugas pokok karena tanpa pengkhianat di dalam, musuh di luar menjadi lemah.
Jihad memandang masyarakat seperti ikan yang membusuk pada bagian kepalanya. Jika masyarakat menghilangkan kepalanya atau pemimpinnya maka ikan tersebut akan sehat kembali. Para “pembunuh” berkeyakinan bahwa ia telah memperoleh hak syuhada dan imabalan surga. Sikap yang mencerminkan kebahagiaan, kebanggaan dan menunjukkan suasana yang senang menjelang eksekusi datang.
Coba lihat ketika ia menulis sepucuk untuk isterinya:
“karena surga tidak akan menerima orang-orang yang berutang, jangan menangis dan berpuasalah untuk aku. Aku sendiri berpendapat bahwa aku adalah syuhada dan tangisan tidaklah pantas untuk seorang syuhada dan Allah lah yang membimbing kami untuk bertindak mati syahid di jalan Allah” (halaman 155).
Mengutip kata Rasulullah:
“Syuhada mendapatkan keistimewaan di sisi Allah. Ia mendapatkan ampunan atas segala dosanya sejak tumpahnya tetes darahnya yang pertama, ia ditunjukkan tempatnya disurga, ia dilindungi dari siksa api kubur, ia dijamin terjauh dari siks neraka dan mendapatkan mahkota di atas kepalanya, yang kalau dihargai, satu permata saja dari mahkota itu berharga dari pada dunia beserta isinya, ia akan menikahi tujuh puluh dua bidadari yang bermata hitam dan doanya akan diterima untuk tujuh puluh keluarganya”(dikutib AL Khatib Al Tabrizi hal 151).
Dalam The Neglected duty alenia kedua (hal 139) dikatakan bahwa pengabaian kewajiban terhadap jihad imbalannya neraka. Dikatakan :
“ Perkataan yang paling benar adalah kitabullah dan tuntunan yang paling baik adalah sunnah nabi Muhammad SAW. Yang paling buruk adalah bid’ah dan setiap inovasi adalah penyelewengan dan setiap penyelewengan cuma punya satu tempat di neraka”.
Baca selengkapnya...
Para praktisi teroris seringkali mengklaim bahwa tidak ada pilihan lain selain terorisme meski kadangkala tidak jarang menemui kegagalan dalam aksi teror tersebut. Dalam pandangan teroris sebagaimana ditulis dalam buku ini adalah rakyat tidak mungkin mendukung (diajak kerja sama) apalagi dalam kapasitas sebagai organisasi penentang karena takut terhadap sanksi negatif dari dari sebuah rezim yang berkuasa. Disinilah sebuah keuntungan teroris dimana dalam pandangan ekstrimis memiliki peran yang sangat bermanfaat dibalik kekerasan yang diartikulasi secara cerdas untuk perubahan politik dan agenda penyelamatan kepentingan publik.
Psikologika teroris berasumsi bahwa terorisme adalah tindakan yang bertujuan sebagai pilihan mantap meski dengan kekerasan (pilihan sengaja) yang dipilih dari serangkaian alternatif yang berbeda. Individu memasuki jalur terorisme guna melaksanakan aksi kekerasan dan logika khsususnya yang didasarkan pada asumsi yang tercermin dalam retorika bahwa terorisme adalah justifikasi atau pembenaran terhadap aksi kekerasan. Setelah menimbang keberagaman penyebab sampai teroris menemukan tujuan bersama yang disepakati bersama, retorika menjadi seragam, yakni melawan.
Diantara polarisasi dan kemutlakan terdapat retorika “ kita melawan mereka”. Ini adalah retorika tanpa nuansa, tanpa bayang-bayang kelabu. “mereka” (baca: “musuh”), kemapanan adalah sumber semua kejahatan, benar-benar bertolak belakang dari “kami” para pejuang kebebasan, penuh dengan kemarahan yang bijak. Dan apabila “mereka” merupakan bibit permasalahan kami, dalam logika teroris mereka harus dihancurkan. Ini merupakan hal yang adil dan bermoral yang harus dilakukan. Sekali asumsi dasar diterima, maka penalaran logis menjadi sempurna (Hal. 27 dan 28).
Perkembangan yang paling menarik terkait dengan aksi terorisme adalah pembenaran perilaku dengan berdalih agama. Aktivis teroris menganggap sebagai jalan suci sehingga apapun yang dilakukan dapat dibenarkan dalam pandangan teologis. Mengutip ayat Qur’an (61:10) pada halaman 131: “Hai orang-orang yang beriman, haruskah kuberikan berbagai kenikmatan yang kau kira akan membebaskannmu dari penderitaan panjang?. Percayalah pada Allah dan Rasulnya serta perjuangan di jalan Allah berbekal segenap apa yang telah ada pada diri kalian sendiri. Demikian halnya lebih baik, maka kalian ketahuilah. Dia akan mengampuni segenap dosa-dosa kalian serta mengizinkan kalian untuk memasuki Firdaus yang di bawahnya mengalir sungai-sungai serta kemudian tinggal di dalam Taman Surgawi yang indah, itulah puncak segal kemuliaan, beserta segenap yang kau cintai atas pertolongan Allah kalian akan mencapai kemenangan. Itulah ganjaran yang akan diterima oleh orang-orang yang beriman (Diterjemahkan oleh: A.J Arberry).
Konsepsi antara terorisme dan jihad memang menjadi pembenaran terhadap kekerasan yang dilakukan oleh teroris. Dikatakan bahwa jihad adalah sarana untuk membangkitkan Islam. Jihad dipandang “berjuang untuk Allah”.
Beberapa ayat dalam Al Qur’an yang dirujuk sebagai pembenaran terhadap upaya untuk melegitimasi berbagai aksi diantaranya: “ Bunuhlah orang-orang musyrik itu dimana saja kau jumpai mereka, desak mereka, kacaukan mereka, serang dimanapun mereka berada” (Quran 9:5). Di ayat lain dijelaskan “ diwajibkan atas kamu berperang” ( Quran 2:216) dan “perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka melalui perantaraan tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka serta melagakan hati orang-orang yang beriman” (Quran 9:14).
Seperti diyakini, jihad dikobarkan terhadap masyarakat non Muslim. Kewajiban jihad baru akan hilang hanya jika Islam dipeluk oleh muslim seluruh dunia (Hal.141). Orang-orang murtad dan kafir adalah perwujudan setan. Muslim diwajibkan mengibarkan jihad melawan mereka dan meskipun dalam jihad hak-hak sipil dihormati tetapi melawan orang murtad harus diperlakukan sendiri. Membasmi musuh adalah selimut tugas pokok karena tanpa pengkhianat di dalam, musuh di luar menjadi lemah.
Jihad memandang masyarakat seperti ikan yang membusuk pada bagian kepalanya. Jika masyarakat menghilangkan kepalanya atau pemimpinnya maka ikan tersebut akan sehat kembali. Para “pembunuh” berkeyakinan bahwa ia telah memperoleh hak syuhada dan imabalan surga. Sikap yang mencerminkan kebahagiaan, kebanggaan dan menunjukkan suasana yang senang menjelang eksekusi datang.
Coba lihat ketika ia menulis sepucuk untuk isterinya:
“karena surga tidak akan menerima orang-orang yang berutang, jangan menangis dan berpuasalah untuk aku. Aku sendiri berpendapat bahwa aku adalah syuhada dan tangisan tidaklah pantas untuk seorang syuhada dan Allah lah yang membimbing kami untuk bertindak mati syahid di jalan Allah” (halaman 155).
Mengutip kata Rasulullah:
“Syuhada mendapatkan keistimewaan di sisi Allah. Ia mendapatkan ampunan atas segala dosanya sejak tumpahnya tetes darahnya yang pertama, ia ditunjukkan tempatnya disurga, ia dilindungi dari siksa api kubur, ia dijamin terjauh dari siks neraka dan mendapatkan mahkota di atas kepalanya, yang kalau dihargai, satu permata saja dari mahkota itu berharga dari pada dunia beserta isinya, ia akan menikahi tujuh puluh dua bidadari yang bermata hitam dan doanya akan diterima untuk tujuh puluh keluarganya”(dikutib AL Khatib Al Tabrizi hal 151).
Dalam The Neglected duty alenia kedua (hal 139) dikatakan bahwa pengabaian kewajiban terhadap jihad imbalannya neraka. Dikatakan :
“ Perkataan yang paling benar adalah kitabullah dan tuntunan yang paling baik adalah sunnah nabi Muhammad SAW. Yang paling buruk adalah bid’ah dan setiap inovasi adalah penyelewengan dan setiap penyelewengan cuma punya satu tempat di neraka”.
Baca selengkapnya...
Terorisme
by Muhammad Akil Musi on Nov.22, 2009, under
Terorisme dalam sejarah manusia telah menjadi sebuah persoalan serius bangsa-bangsa di dunia. Efek aksi-aksi terorisme menunjukkan sebuah fakta penghancuran yang ditandai dengan jatuhnya korban jiwa yang tidak berdosa. Terorisme sedemikian rupa telah identik dengan kekerasan yang membenamkan rasa kemanusiaan.
Tragedi World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001 merupakan contoh mutakhir kegarangan teroris dalam menjalankan aksinya. Dunia internasional tidak menyangka begitu mudahnya teroris meruntuhkan kokohnya WTC sebagai simbol kekuatan Amerika Serikat sebagai polisi dunia. Intelijen Amerika sebagai intelejen tercanggih di dunia dibuat kecolongan dan tak bisa berbuat banyak untuk menangkal aksi-aksi terorisme. Salah satu tempat yang dianggap steril pun yaitu Pentagon sebagai markas militer yang dimiliki Amerika Serikat juga dapat ditembus oleh serangan teroris.Tulisan ini menganalisa perilaku ideologi dan teologi teroris yang dikaji dari sebuah buku yang berjudul: Origin of Terorisme karya Reich Walter. Aspek yang dikaji dalam tulisan ini adalah sikap ideologi dan teologi terorisme dan penulis mencoba "menggugat" secara intelektual sejauh mana kebenaran atas prinsip teroris tersebut dalam perspektif yang lebih edukatif.
Tulisan ini paling tidak akan memberikan satu perspektif untuk menggugat perilaku teroris dengan suatu kearifan intelektual atas sikap fundamental yang selama ini mengatas namakan kebenaran dalam setiap aksinya. Untuk memberikan gambaran tentang uraian ini maka dibuat dalam sistematika dengan memahami ideologi, teologi dan sikap para teroris dan kemudian memberikan analisa intelektual sebagai bentuk tanggapan intelektual terhadap apa yang disebutnya sebagai pembenaran.
Baca selengkapnya...
Tragedi World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001 merupakan contoh mutakhir kegarangan teroris dalam menjalankan aksinya. Dunia internasional tidak menyangka begitu mudahnya teroris meruntuhkan kokohnya WTC sebagai simbol kekuatan Amerika Serikat sebagai polisi dunia. Intelijen Amerika sebagai intelejen tercanggih di dunia dibuat kecolongan dan tak bisa berbuat banyak untuk menangkal aksi-aksi terorisme. Salah satu tempat yang dianggap steril pun yaitu Pentagon sebagai markas militer yang dimiliki Amerika Serikat juga dapat ditembus oleh serangan teroris.Tulisan ini menganalisa perilaku ideologi dan teologi teroris yang dikaji dari sebuah buku yang berjudul: Origin of Terorisme karya Reich Walter. Aspek yang dikaji dalam tulisan ini adalah sikap ideologi dan teologi terorisme dan penulis mencoba "menggugat" secara intelektual sejauh mana kebenaran atas prinsip teroris tersebut dalam perspektif yang lebih edukatif.
Tulisan ini paling tidak akan memberikan satu perspektif untuk menggugat perilaku teroris dengan suatu kearifan intelektual atas sikap fundamental yang selama ini mengatas namakan kebenaran dalam setiap aksinya. Untuk memberikan gambaran tentang uraian ini maka dibuat dalam sistematika dengan memahami ideologi, teologi dan sikap para teroris dan kemudian memberikan analisa intelektual sebagai bentuk tanggapan intelektual terhadap apa yang disebutnya sebagai pembenaran.
Sample Text
Mengenai Saya
- Muhammad Akil Musi
- Dilahirkan di Desa Sumpang MinangaE Kec. Sibulue Bone, 24 April 1975. Pendidikan: SDN 214 Kading/Barebbo, SMPN 2 Watampone, SMU Bajoe Bone, S1 Otomotif FT IKIP UP/UNM dan S2 PAUD UNM. Saat ini sementara menempuh studi Program Doktor di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pernah merasakan "duka" bekerja di Asuransi Jiwasraya Makassar, Dewan Redaksi salah satu media cetak di Makassar (SKM Aktualita), staf khusus Gubernur Sulsel (Sekretaris Pemantau Sekolah Unggulan Sulsel) sebelum menjadi Dosen UNM PGTK FIP UNM merangkap Humas UNM dan Pemimpin Redaksi "Tudang Sipulung" sebuah Majalah terbitan Univesitas Negeri Makassar. Tahun 2010 dipercaya sebagai Tim Teknis (Konsultan)Direktorat Pendidikan Kesetaraan Subdit Pendidikan Menengah Dirjen PNFI Kementerian Pendidikan Nasional. Dalam organisasi, pernah aktif diberbagai ormas dan LSM diantaranya BM PAN Sulsel, Bakumham Golkar Sulsel dan MKGR. Tahun 2004 mempersunting Sahria, S.Pd dan saat ini dikarunia putera (Asyam) dan puteri (Nina). Beralamat di BTN Tabaria Baru Blok R/3 Makassar Telepon 0811447938.
About Me
Dilahirkan di Desa Sumpang MinangaE Kec. Sibulue Bone, 24 April 1975. Pendidikan: SDN 214 Kading/Barebbo, SMPN 2 Watampone, SMU Bajoe Bone, S1 Otomotif FT IKIP UP/UNM dan S2 PAUD UNM. Saat ini sementara menempuh studi Program Doktor di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pernah merasakan "duka" bekerja di Asuransi Jiwasraya Makassar, Dewan Redaksi salah satu media cetak di Makassar (SKM Aktualita), staf khusus Gubernur Sulsel (Sekretaris Pemantau Sekolah Unggulan Sulsel) sebelum menjadi Dosen UNM PGTK FIP UNM merangkap Humas UNM dan Pemimpin Redaksi "Tudang Sipulung" sebuah Majalah terbitan Univesitas Negeri Makassar. Tahun 2010 dipercaya sebagai Tim Teknis (Konsultan)Direktorat Pendidikan Kesetaraan Subdit Pendidikan Menengah Dirjen PNFI Kementerian Pendidikan Nasional. Dalam organisasi, pernah aktif diberbagai ormas dan LSM diantaranya BM PAN Sulsel, Bakumham Golkar Sulsel dan MKGR. Tahun 2004 mempersunting Sahria, S.Pd dan saat ini dikarunia putera (Asyam) dan puteri (Nina). Beralamat di BTN Tabaria Baru Blok R/3 Makassar Telepon 0811447938.